SIWO PUSAT COM - Awal era Orde Baru, 1966, pers Indonesia,
masih didominasi oleh media cetak dan radio (RRI). Televisi satu-satunya,
barulah TVRI, itupun masih hitam putih. Jangkauan siarannyapun belum menjamah
seluruh tanah air. Rubrik olahraga di media massa, masih merupakan rubrik tambahan yang
kolomnya terbatas. Bahkan kadang tergusur oleh iklan atau berita lainnya.
Saat itu,
masyarakat olahraga Indonesia
tengah berbenah diri. Munculnya rasa tidak puas induk-induk organisasi olahraga
terhadap pemerintah yang dinilai terlalu “menguasai” Dewan Olahraga Republik
Indonesia (DORI), membuka wacana perlunya wadah independen yang memahami
tuntutan murni olahraga.
Dalam situasi
seperti inilah sejumlah wartawan ibukota yang biasa meliput dan menyenangi
olahraga melakukan diskusi dengan melibatkan tokoh-tokoh olahraga. Dalam
kesempatan bertukar pikiran ini menghasilkan usulan tentang upaya-upaya
membangun masa depan olahraga. Salah satu usulan yang muncul adalah cikal bakal
bentuk organisasi olahraga di tanah air.
Rasa kebersamaan
kepentingan profesi di kalangan peliput olahraga, menumbuhkan pemikiran untuk
menggalang organisasi yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan liputan
bagi wartawan, sekaligus untuk membantu induk organisasi olahraga mengembangkan
pembinaaan prestasi yang menjadi tugas pokok mereka.
Wartawan-wartawan
senior yang intens melibatkan diri, diantaranya Sondang Meliala (Berita Buana),
Max Karundeng (Sinar Harapan), Edy Sihombing (RRI), Boy Sohibi (AB), serta
wartawan-wartawan yunior, seperti Ardi Syarif (KAMI), Zuchry Husein (PAB),
Rahian Usman (Antara), dan Nurdin Tambunan (Antara).
Kebutuhan wadah organisasi
profesi ini, bukan saja untuk kepentingan tugas jurnalistik, tapi mencakup hal
yang lebih luas lagi, yaitu punya peran lebih dalam pembinaan olahraga di tanah
air. Bukan sekadar menjadi peliput belaka.
Atas dasar itu,
pada suatu petang di bulan Oktober 1966,
atas inisiatif bersama bertemu sekitar sebelas teman-teman wartawan yang biasa
meliput olahraga di Sekretariat PWI Jaya di Jalan Merdeka Selatan No. 11, Jakarta. Dari pertemuan
itu, dicetuskan sikap bersama bahwa para wartawan peliput olahraga, membentuk
wadah dan dinamakan Seksi Wartawan Olahraga - PWI Jaya (SIWO PWI Jaya), yang
menjadi satu-satunya seksi kegiatan profesi dalam tubuh PWI Jaya saat itu.
Dalam pertemuan
itu ditetapkan susunan pengurus SIWO PWI Jaya, dengan susunan, Ketua: Sondang Meliala, Wakil Ketua: Max
Karundeng, Sekretaris: Boy Sohibi. Langkah ini disepakati oleh pengurus PWI
Jaya, karena memahami perlunya wartawan olahraga terlibat lebih intens dengan
dunia lahraga.
Kelahiran SIWO kemudian mendorong
rekan-rekan wartawan dari berbagai kegiatan profesi lain membentuk seksi
profesi lainnya, seperti Seksi Foto dan Seksi Film.
Terbentuknya KONI
Berawal dari
dialog, diskusi dengan tokoh-tokoh olahraga, seperti Brigjen Jono Sewoyo, Fery
Soneville dan lain-lain, tercetuslah pemikiran untuk membentuk satu wadah
keolahragaan nasional dari dan untuk masyarakat olahraga tanpa campur tangan
pemerintah.
Pada Desember
1966, gagasan untuk membentuk organisasi keolahragaan nasional yang sejalan
dengan prinsip yang digariskan International Olympic Committee (IOC) yaitu
bebas dari pengaturan pemerintah semakin keras disuarakan oleh pimpinan induk
organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Bersama (Sekber).
Puncak dari lobi intensif Sekber,
disepakatilah suatu pertemuan yang dinamakan Musyawarah Nasional Olahraga
(Munasor), yang dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 1966.
Wartawan
olahraga Jakarta,
yang sudah membentuk SIWO PWI Jaya, sejak awal sangat terlibat dalam
menggelindingkan Munasor. Kedudukan SIWO PWI Jaya, yang berada dipusat kegiatan
nasional, sejajar dengan organisasi keolahragaan lainnya. Di sinilah keunikan
wartawan olahraga Jakarta,
apalagi ketika itu media nasional memang konotasinya hanyalah media yang terbit
di ibukota, dan daerah belum berkembang seperti saat ini.
Melalui Munasor, yang sejak 1971 berubah menjadi Musyawarah
Olahraga Nasional (Musornas), dimana SIWO ikut berperan di dalamnya,
terbentuklah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). KONI merupakan
organisasi nasional non government di bidang olahraga yang menjadi mitra bagi
pemerintah dalam kebijakan pembangunan prestasi olahraga bangsa.
Melalui
musyawarah olahraga ini, masyarakat olahraga berupaya untuk mengembalikan
“fitrah” gerakan olahraga di Indonesia sejalan dengan cita-cita gerakan
Olimpiade yang dibangun dari dasar pemikiran Bapak Olimpiade, Baron de
Cubertain, bangsawan Prancis yang bercita-cita menjadikan olahraga kegiatan
yang mensetarakan segenap bangsa-bangsa di dunia.
SIWO PWI Pusat
Pekan Olahraga
Nasional (PON) V, yang seyogianya berlangsung di kota
Bandung pada
1965, terpaksa dibatalkan karena terjadinya pergolakan politik ditanah air
dengan peristiwa G.30.S./PKI. Padahal sebagian peserta dalam perjalanan menuju
Kota Kembang.
Begitu situasi
tanah air pulih, pada 1967, dipikirkanlah kembali untuk menggelar PON yang
sempat tertunda. Semua pihak, baik masyarakat olahraga maupun pemerintah,
apalagi bagi KONI yang baru terbentuk-pelaksanaan PON sangat dirasakan
kebutuhannya. Sebagaimana PON I 1948, maka PON
VII sangat strategis menjadi alat pemersatu bangsa yang baru saja
terkoyak oleh gejolak politik.
Pilihan kota penyelenggara jatuh pada Surabaya. Seorang tokoh energik yang saat itu
menjabat Komandan Korem Baskara Jaya, Kolonel Acub Zaenal - tampil kedepan
meyakinkan kemampuan Surabaya/Jawa Timur sebagai kota penyelenggara PON VII -
1969.
Pada masa
persiapan ini, peran SIWO PWI Jaya tidak
kecil. Sejak ditunjuk sebagai penanggung jawab penyelenggaraan PON VII, Acub
Zainal, selalu mengundang wartawan-wartawan olahraga dari Jakarta
(ketika itu media nasional masih didominasi penerbitan Jakarta), guna melihat dari dekat jalanya
persiapan, melakukan dialog dan tidak jarang kritikan-kritikan atas proses yang
tengah berjalan, demi suksesnya penyelenggaraan.
Merasa punya
keterkaitan erat untuk suksesnya persiapan pelaksanaan multi event nasional
pertama pada awal Orde Baru itu, Acub, melalui SIWO PWI Jaya, mengundang dua
orang wartawan dari setiap daerah peserta sebagai tamu PB PON VII, termasuk
seluruh anggota SIWO PWI Jaya.
Memanfaatkan
fasilitas yang diberikan oleh PB PON VII, wartawan peliput PON VII dari
berbagai daerah yang hadir di Surabaya, dengan dimotori SIWO PWI Jaya dan SIWO
PWI Surabaya, mengadakan musyawarah untuk membentuk wadah nasional. Dan
lahirlah SIWO PWI Pusat yang bersifat nasional. Kepada cabang-cabang PWI
(kecuali DKI) diminta membentuk SIWO di daerah masing-masing.
Perkembangan
SIWO PWI yang menduduki fungsi strategis karena perannya dalam kehidupan
keolahragaan nasional sebagai mitra induk-induk organisasi, rupanya menarik
perhatian Menteri Penerangan Marsekal Budiharjo, yang tak ingin melihat
wartawan olahraga terlihat dalam ‘perpecahan’ pengurus PWI, antara kubu Rosihan
dan kubu B.M. Diah, pasca Kongres PWI di Palembang.
Menpen memanggil
pengurus PWI, di ruang kerja Menteri di Jalan Merdeka Barat, dan para pengurus
mendapat wejangan dalam suasana yang akrab. Pesan utamanya, “Sebagai wartawan
olahraga, para anggota SIWO dan organisasinya jangan ikut-ikutan berpihak pada
salah satu kubu”. Pesan Pak Bud ini, setidaknya untuk konsumsi publik, jangan
sampai SIWO latah untuk ikut mendukung pada salah satunya.
Sesungguhnya, Pak Bud paham,
teman-teman SIWO ini markasnya di Merdeka Selatan, kantornya PWI Jaya yang
merupakan pendukung kuat kubu Rosihan Anwar.
"Kami
memang sepakat, SIWO tidak perlu turut latah mengeluarkan pernyataan, karena
SIWO tak ingin aroma benturan terimbas pula pada kehidupan olahraga, Untunglah,
perseteruan antara dua kubu PWI itu, segera teratasi pada kongres PWI di
Pandaan - Jawa Timur, yang menampilkan Harmoko sebagai ketua umum."
Sampai dengan
terbentuknya SIWO sebagai organisasi dan kemudian ikut andil sebagai pelaku dan
saksi dari kelahiran organisasi keolahragaan nasional, KONI - Desember 1966, wartawan
olahraga ketika itu masih punya kemampuan terbatas akan seluk beluk “dunia”
olahraga yang menjadi bidang liputannya.
Untuk
meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang dasar dan istilah dalam olahraga,
pengurus SIWO melakukan kerjasama dengan Dirjen Olahraga Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, yang saat itu dipimpin olah Brigjen Sukamto Sayidiman. Sukamto
sangat mendukung upaya peningkatan pengetahuan wartawan olahraga. Ditjen
Olahraga memfasilitasi adanya penataran, dengan menyediakan board & loging,
sementara KONI dan Induk Organisasi menyediakan tenaga pengajar sesuai cabang
olahraganya.
Pada Februari
1967, selama dua pekan, diadakan Penataran Nasional Wartawan Olahraga yang
diikuti sekitar empat puluh wartawan olahraga dari semua koran ibukota,
ditambah utusan dari Medan, Pekan Baru, Jambi, Padang, Palembang, Bandung,
Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin. Adapun
cabang olahraga yang dilibatkan ketika itu adalah sepakbola, bola voli, bola
basket, tenis lapangan, golf, pencak silat, judo. Kemudian pada 1968, penataran
nasional ke-2 diselenggarakan lagi dengan peserta yang lebih banyak dari
sebelumnya.
Langkah-langkah
SIWO PWI Jaya berhasil menempatkan diri dalam kegiatan olahraga nasional
membuat rubrik olahraga semakin mendapat kolom di media cetak, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Bahkan, kemudian, rubrik olahraga merupakan salah satu
rubrik yang menjadi andalan bagi koran-koran terkemuka.
Keberhasilan
SIWO PWI, mengilhami seksi-seksi lainnya dalam kepengurusan PWI Pusat, misalnya
seksi film, foto dan ekonomi. Kiprah SIWO PWI Jaya, secara khusus mendapat
perhatian kongres PWI tahun 1968 di Banjarmasin.
Dengan mengakui keberadaan SIWO Jaya dan merekomendasikan pada PWI cabang
lainnya, jika ingin adanya SIWO setempat.
Di tiap-tiap
daerah, SIWO-SIWO daerah menjadi anggota koni daerah. Keberadaan mereka
diterima dalam kehidupan olahraga, bukan saja sebagai peliput kegiaran, tetapi
perannya menjadi mitra yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan
komponen masyarakat olahraga lainnya. Pengurus-pengurus SIWO di berbagai
daerah, duduk dalam kepengurusan KONI daerah, sebanyak yang duduk dalam
kepengurusan cabang olahraga.
Perkembangan
ini, menjadi salah satu topik bahasan pada Konperensi Kerja (Konker) PWI di
Kinilow - Sulut pada 1969. Sondang Meliala yang terpilih sebagai Ketua SIWO
Pusat dan menjadi utusan di Konker PWI ini, menjelaskan perkembangan yang
terjadi. Konker PWI kemudian menetapkan status otonomi pada SIWO, dan dapat
beraktifitas sesuai dengan tuntutan kegiatan olahraga nasional dan
internasional.
Dengan status otonomi itu, SIWO,
baik pusat maupun daerah semakin dapat mengembangkan aktifitasnya sebagai
bagian dari masyarakat olahraga Indonesia.
Sejak mendapat
status otonomi. Siwo PWI telah beberapa kali, menyelenggarakan Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas) untuk memilih kepengurusan Siwo PWI Pusat periode
1969-1973, 1973-1977, dan 1977-1981. Mukernas selalu diadakan bersamaan dengan
berlangsungnya PON di Jakarta, sebab pada kesempatan itu sejumlah wartawan
olahraga dari berbagai media dan daerah berkumpul meliput pertandingan PON.
Karena keadaan
sekaligus keinginan turut berkembang secara bersama, pada Kongres PWI di Padang
tahun 1978 diputuskan status Siwo PWI di dalam struktur organisasi PWI Pusat
diubah menjadi sebuah departemen yang disebut Departemen Wartawan Olahraga.
Sedangkan di tingkat daerah atau cabang tetap dengan nama Siwo PWI.
Sejak menjadi
departemen, dalam menyelenggarakan setiap kegiatannya, Ketua Departemen selalu
dibantu oleh wartawan olahraga senior atau anggota Siwo PWI Jaya. Dan, dalam
perjalanannya, Siwo PWI telah banyak mengadakan kegiatan olahraga melalui
kerjasama yang baik dengan organisasi olahraga nasional.
Kerjasama
tersebut antara lain perebutan Piala Siwo dengan Pengurus Besar Gabungan Bridge
Seluruh Indonesia (Gabsi)
pertama kali pada 1976 di Jakarta.
Kemudian kerjasama Siwo Cabang Lampung dengan PB Pertina dalam melahirkan
kejuaraan tinju “Sarung Tinju Emas” (STE). Kejuaraan tinju yang idenya
menduplikasi Golden Gloves di Amerika ini pertama kali diselenggarakan di Ambon.
Selain menggelar
berbagai event olahraga Siwo juga berusaha menumbuhkan motivasi para pelaku
olahraga dengan mengadakan acara pemilihan Atlet Putra dan Putri Terbaik, juga
Pelatih, Pembina, dan Penunjang secara nasional.
Pada 1983, acara
pemilihan olahraga terbaik yang diselenggarakan oleh Siwo PWI Jaya itu malah
dikemas lebih profesional. Namanya diubah menjadi Anugerah Olahraga dan sistem
maupun kriteria pemilihannya disempurnakan sehingga acara ini menjadi
komersial.
Gagasan
menjadikan Anugerah Olahraga lebih bergengsi lahir dari kejenuhan Pengurus Siwo
PWI Jaya, pada saat itu dipimpin oleh Atal S. Depari, mengisi kas organisasi
dengan cara membentangkan tangan kepada simpatisan.
Ternyata,
Anugerah Olahraga mampu menjadi sajian yang menarik secara komersial bagi
stasiun televisi RCTI dan ANTV. Kedua stasiun televisi ini menayangkan Anugerah
Olahraga dengan membayar fee kepada Siwo PWI Jaya. Organisasi hidup sehat tanpa
mengulurkan tangan ke kiri dan ke kanan.
Salah satu
catatan emas, kelahiran Liga Sepakbola Utama (Galatama) PSSI, kini liga Djarum,
tidak lepas dari peran SIWO PWI Pusat. Pernah menyelenggarakan dua kali seminar
sepakbola bertempat di Press Club Jakarta, yang melibatkan tokoh-tokoh
sepakbola, pengurus PSSI, bahkan ketua LIPI waktu itu (Dr. Bachtiar Rivai)
turut menyumbang pikiran. Dari seminar dua kali ini, kemudian lahirlah apa yang
dikenal dengan nama Galatama, sebagai rumusan yang dikemas oleh Yusuf Kadir dan
Suparyo Poncowinoto.
Anggota AIPS dan ASPU
Setelah orde
baru mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari orde lama, pemuka olahraga yang
dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono IX, serta didukung Pemerintah, Indonesia
kembali memulihkan keanggotaannya di dunia olahraga IOC, dan federasi-federasi
olahraga internasional, wartawan olahraga Indonesia yang telah memiliki wadah
organisasi (walau baru setingkat DKI Jaya), melihat perlunya keterlibatan
jurnalistik olahraga Indonesia pada level internasional.
Dukungan penuh
KONI Pusat, dan Dirjen Olahraga, membuat Siwo Jaya bersemangat untuk bergabung
sebagai anggota Association International de La Press Sportive (AIPS). Atas
dasar itu, SIWO Jaya mengirimkan Ketua SIWO Jaya, Sondang Meliala untuk
menghadiri Kongres AIPS di kota Florence, Italia, 1967. Saat itu Sondang
didampingi, AA Pesik, seorang pejabat
Departemen Luar Negeri yang diperbantukan pada Ditjen Olahraga, dengan status
awal sebagai peninjau.
Baru pada
Kongres AIPS 1968 di Bukarest,
Rumania, SIWO diterima
menjadi anggota AIPS, organisasi wartawan olahraga internasional yang juga
berafiliasi ke IOC. Sejak itu, SIWO tidak pernah absen dari aktivitas AIPS.
Keanggotaan
wartawan pada AIPS, bersifat individu,
karena setiap wartawan olahraga yang diajukan keanggotaannya oleh organisasi
negara masing-masing, akan mendapatkan kartu anggota tahunan setelah membayar
iuran. Banyak kemudahan yang didapat jika seorang wartawan memiliki kartu AIPS,
apabila yang bersangkutan meliput event
atau multi event internasional.
Pada Desember
1978, bertepatan dengan berlangsungnya Asian Games Bangkok, wartawan-wartawan
olahraga Asia menyelenggarakan pertemuan untuk membentuk organisasi wartawan
olahraga Asia. Pertemuan yang diprakarsasai
oleh Mikawa, ketua AIPS untuk Asia, dihadiri oleh utusan-utusan negara-negara
peserta Asian Games, berlangsung sehari penuh di hotel Hyatt.
Pertemuan
menghasilkan berdirinya Asian Sport Journalis Union (ASJU), yang kemudian
berubah menjadi Asian Sport Press Union (ASPU) sampai sekarang.
Dalam
pembentukan ASJU, Indonesia yang diwakili oleh Zuchry Husein, terpilih sebagai
anggota EXCO, yang kemudian pada periode 1978-1982, Ketua Departemen Wartawan
Olahraga PWI Pusat, Sondang Meliala, terpilih sebagai salah satu Komite
Eksekutif ASPU.
Periode
1986-1990 Suharmono Tjitrosoewarno terpilih sebagai Komite Eksekutif, dan untuk
periode 1990- 1994 Sondang Meliala terpilih sebagai salah satu Wakil Presiden
ASPU.
Pada Kongres
AIPS 1993 di Istambul, Indonesia diminta untuk mengisi
majalah AIPS dan ditunjuk Suharmono Tjitrosoewamo sebagai koresponden majalah
dimaksud.
Dalam upaya
meningkatkan kerjasama wartawan olahraga Asia, SIWO berhasil menyelenggarakan
dua pertemuan (seminar) wartawan olahraga Asia di Jakarta, yaitu pada 1973 dan
1977, bertepatan dengan penyelenggaraan PON di Jakarta. Pada dua seminar
tersebut, tokoh-tokoh AIPS hadir seperti Bobby Naidoo (Sekjen/Inggris), Steve
Malonga, (Ketua AIPS utusan Afrika), dan Togay Bayalti (Turki).
Anugerah Olahraga
Wartawan
olahraga punya cara sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai bagian dari
pembinaan prestasi anak bangsa.
Terbentuknya
Siwo sejak semula, tidak lepas dari obsesi wartawan sendiri, menjadikan
keberadaannya tidak saja sebagai penyampai kabar atas apa yang terjadi di arena
lapangan ataupun dari markas induk organisasi, mereka juga berupaya bagaimana
pers berperan untuk mendorong kemajuan, memotivasi semangat atlet atau pembina
olahraga.
Terdorong oleh
semangat yang demikian itulah, rapat pengurus Siwo Pusat, mencetuskan perlunya
diselenggarakan pemilihan olahragawan terbaik setiap tahun.
Sesuai jamannya,
pemilihan pertama pada 1971 dilakukan sendiri oleh pengurus Siwo Pusat, memilih
atlet terbaik berdasarkan prestasi terbaiknya sepanjang tahun 1970.
Tidak pelak,
cabang olahraga bulutangkis dengan prestasinya yang dominan di pentas dunia
adalah cabang olahraga yang hampir setiap tahun tampil di pentas terbaik dari
era 70 sampai dengan 80-an. Rudy Hartono, maestro bulutangkis yang sejak tampil
perdana pada Thomas Cup 1967 di Istora Senayan, kemudian berturut-turut merajai
arena All England di Wembley, mendominasi pilihan terbaik Siwo - empat kali
berturut-turut.
Sarung Tinju Emas (STE)
STE, setidaknya
telah menorehkan peran serta wartawan olahraga untuk pengembangan olahraga
tinju, mencari bibit-ninit unggul yang dibina oleh daerah. Kota Ambon tepatnya
Gedung Olahraga Karang Panjang yang berlokasi pada kawasan bukit di atas kota, setiap malam selama
sepekan hiruk pikuk penggemar tinju yang mendukung favorit juara STE pertama
pada tahun 1976.
Piala berupa
sarung tinju yang terbuat dari lapisan emas murni karya pengrajin logam dari
kota Gede Yogyakarta, disumbangkan oleh seorang pembina olahraga dari daerah
Lampung, Ir. Marzuki, yang juga pemilik klub sepakbola yang berkiprah pada
kompetisi Galatama PSSI, Jaka Utama. Begitulah, STE berjalan sesuai rencana
awal kegiatannya, bergeser dari Ambon ke Banda Aceh - Tanjung Karang - Padang, dan beberapa kota
lainnya.
Pergantian pucuk
pimpinan PB Pertina dari Saleh Basarah, turut mempengaruhi “gairah” Pertina
untuk melanjutkan STE sebagaimana komitmen awal.
Perlu diberi
catatan, orang Pertina yang sangat gigih mendorong SIWO untuk merealisasikan STE,
Kusnadi, tidak sempat menyaksikan buah gagasan yang dilontarkannya, karena ia
lebih dahulu menghadap Sang Pencipta sebelum acara ini digelar.
Kebaradaan SIWO
PWI Jaya membuat intensitas hubungan dengan masyarakat olahraga, yang terdiri
dari induk-induk organisasi olahraga yang tergabung dalam sekretariat bersama
(l.k. 23 induk organisasi) semakin sering. Setiap kegiatan yang ada selalu
dikomunikasikan pada SIWO.
Pekan Olahraga Wartawan Nasional
Seperti
biasanya, wartawan olahraga termasuk Pengurus Siwo PWI Cabang seluruh Indonesia selalu berkumpul meliput kegiatan
olahraga, termasuk pada PON 1981 di Jakarta.
Mereka ditampung di Wisma Ciliwung Jalan Bukit Duri Tanjakan, Tebet.
Pada pertemuan
Pengurus Siwo seluruh Indonesia, Ketua Pelaksana PWI Pusat, waktu itu Harmoko,
menyampaikan ide atau gagasan menyelenggarakan Pekan Olahraga Wartawan Nasional
(Porwanas). Gagasan itu langsung diterima oleh seluruh wartawan olahraga,
karena memang sudah sejak lama mereka mengidam-idamkannya.
Maksud utama
menyelenggarakan Porwanas, selain untuk mengisi panji-panji olahraga nasional
yang dikumandangkan oleh Presiden waktu itu, juga untuk lebih mempererat dan
menciptakan keakraban profesi antarwartawan seluruh cabang PWI serta
memantapkan pemahaman para wartawan mengenai arti dan makna yang sesungguhnya
dari olahraga itu. Porwanas sekaligus memperebutkan Piala Bergilir Presiden RI.
Saat itu juga,
atas dasar musyawarah dan mufakat, dibentuklah panitia persiapan yang diketuai
oleh Ketua Departemen Wartawan Olahraga PWI Pusat. Panitia ditugaskan untuk
menjajagi kemungkinan terselenggaranya Porwanas.
Waktu itu
ditetapkan waktu dan tempatnya di Sala, bulan September 1982, dan, cabang
olahraga yang akan dipertandingkan adalah sepak bola, tenis lapangan, tenis
meja, bilyar, catur dan bridge.
Mengapa kota Sala yang dipilih, tidak lain karena Sala adalah kota tempat lahirnya PWI dan di sana pula pertama kali diselenggarakannya
Pekan Olahraga Nasional (PON). Singkat kata, wartawan olahraga ingin
menghormati sejarah berdirinya organisasi wartawan dan kegiatan olahraga
nasional.
Berhubung
pemugaran Stadion Sriwedari belum selesai, maka atas kesediaan PWI Cabang Jawa
Tengah, Porwanas pertama akhirnya dialihkan ke kota
Semarang pada
tahun 1983.
Kongres PWI
XVIII tidak secara tersurat mengamanatkan kepada Pengurus Pusat periode 1988
1993 agar tetap menyelenggarakan Porwanas. Namun Pengurus Pusat menangkap di
dalam Keputusan Kongres PWI XVIII No. 10/K XVIII/1988 adanya amanat tersirat
agar Porwanas diupayakan tetap terselenggara. Karena itu Pengurus Pusat periode
1988 -1993, 1993-1998, 1998-2003, tetap berupaya menyelenggarakan Porwanas.
Sejak Porwanas
IV tahun 1990 di Surabaya, dalam Porwanas diadakan juga kegiatan untuk istri
anggota Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (lKWI) berupa kejuaraan bola voli.
Tapi pada Porwanas VII di Banjarmasin, kegiatan voli IKWI kembali ditiadakan,
sesuai hasil Rakernas Siwo Pusat di Palembang 2001. Pertimbangannya efisiensi
biaya penyelenggaraan Porwanas.
Porwanas I pada
1983 diselenggarakan di Semarang, Porwanas II-1985 di Ujung Pandang, Porwanas
III-1988 di Padang, Porwanas IV-1990 di Surabaya, Porwanas V-1993 di Lampung,
Porwanas VI-1996 di Bandung, dan Porwanas VII-2002 di Banjarmasin. Dalam
Rakernas Siwo PWI di Palembang 2004 diputuskan Jakarta sebagai tuan rumah Porwanas
VIII-2004. Namun, dalam perkembangannya diputuskan bahwa Porwanas VIII, 2004
diselenggarakan di Riau. Sedangkan Porwanas IX- 2007, diselenggarakan di
Samarinda, Kalimantan Timur, sekaligus sebagai ajang gladi resik pelaksanaan
PON XVII-2008.
Susunan Pengurus SIWO PWI Pusat
Musyawarah Kerja
Nasional (Mukernas Siwo se-Indonesia pertama kali diselenggarakan di Surabaya bersaman dengan
berlangsungnya PON VII-1969.
Pengurus Siwo PWI Pusat pertama lahir,
untuk masa bakti 1969-1971, sebagai berikut:
Ketua Umum : Sondang Meliala (Jakarta)
Ketua I :
Suharmono Tjitrosoewarno (Bandung)
Ketua II : JA Syaranamual (Surabaya)
Ketua III :
R. Pratikno (Lampung)
Sekretaris Umum : Bey Sohibi (Jakarta)
Wakil Sekretaris Umum : Tjoek
Sudarmadji (Surabaya)
Bendahara : Ardi Syarief (Jakarta)
Komisaris-komisaris
1. Sumatera : Muhammad THH (Medan)
2. Jawa/Bali/ Kalimantan : Parwan BP (Surabaya)
3. NTT/NTB/Sulawesi : Aspar (Makasar)
4. Maluku/ Irian Jaya : TI
Ruhulessin (Maluku)
Masa bakti
1971-1973, dipilih melalui Mukernas Siwo PWI se-Indonesia, bersamaan dengan
Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) di Palembang.
Ketua Umum : Sondang Meliala (Jakarta)
Ketua I : Suharmono
Tjitrosoewarno (Bandung)
Ketua II : Rahim Oesman (Jakarta)
Ketua III : JA. Syaranamual (Surabaya)
Ketua IV : R. Pratikno (Lampung)
Sekretaris Umum : Zuchry Husein (Jakarta)
Wakil Sekretaris Umum : Mudjianto (Jakarta)
Bendahara : Max Karundeng (Jakarta)
Masa bakti
1973-1977 dipilih melalui Mukernas Siwo PWI se-Indonesia bersamaan dengan
berlangsungnya PON VIII/1973 di Jakarta sebagai berikut:
Ketua Umum : Sondang Meliala (Jakarta)
Ketua I : Suharmono
Tjitrosoewarno (Bandung)
Ketua II : Ardy Syarief (Jakarta)
Ketua III : TI Ruhulessin
(Maluku)
Ketua IV : Zakaria R. Piliang (Medan)
Sekretaris : Zuchry Husein (Jakarta)
WakilSekretaris : Supriyadi (Jakarta)
Bendahara : Suryanto
Hadisaputro (Jakarta)
Pembantu Umum : Zuchri Husein (Jakarta)
Masa bakti 1977-1981
dipilih melalui Mukernas Siwo PWI se-Indonesia bersamaan dengan berlangsungnya
PON IX/1977 di Jakarta sebagai berikut:
Ketua Umum : Sondang Meliala (Jakarta)
Ketua I : Suharmono
Tjitrosoewamo (Bandung)
Ketua II : Ardy Syarief (Jakarta)
Ketua Ill :
TI Ruhulessin (Maluku)
Sekretaris : Zuchry Husein (Jakarta)
Wakil Sekretaris : Supriyadi (Jakarta)
Bendahara : Suryanto
Kepengurusan ini
secara administratif hanya berfungsi sampai Desember 1978 karena dalam Kongres
PWI di Padang tahun 1978, status Siwo di Pusat diubah menjadi Departemen
Wartawan Olahraga. Siwo menjadi satu dengan kepengurusan PWI Pusat, mengelola
kegiatan olahraga secara otonom. Ketua Departemen Wartawan Olahraga PWI Pusat
dan Ketua PWI Pusat lainnya secara fungsional bekerja sama dalam mengisi
program Siwo Pusat. Ketua Departemen Wartawan Olahraga PWI Pusat masa bakti
kegiatannya sama dengan periode kepengurusan PWI Pusat.
Masa bakti 1978-1983 : Sondang
Meliala.
Masa bakti 1983-1988 : Ardi
Syarief.
Masa bakti 1988-1993 : Ardi
Syarief. (Berhubung kesehatan Ardi
Syarief tidak mengizinkan, sejak Juli 1989-1993, dijabat oleh Sondang Meliala.
Ardi Syarief meninggal dunia tanggal 4 Juli 1993).
Masa bakti 1993-1998 : Sumohadi
Marsis.
Masa bakti 1998-2003 : Atal S.
Depari.
Masa bakti 2003-2008 : Atal S.
Depari
SUSUNAN PERSONALIA PENGURUS PUSAT SEKSI WARTAWAN OLAHRAGA
PERSATUAN WARTAWAN NDONESIA (PP. SIWO - PWI) MASA BAKTI 2008 - 2013
Ketua :Raja Parlindungan (Tab
Pemberantasan Korupsi)
Wakil Ketua Marjan
Zen (Pikiran Rakyat)
Sekretaris : Agus Baharudin (Suara
Pembaruan)
Anggota : Rudy Novrianto (Majalah
Konsultan)
Anggota : Gungde Ariwangsa (Suara
Karya)
Susunan dan
Prsonalia Pengurus SIWO Pusat periode 2013 - 2013 adalah sebagai berikut:
Penanggung Jawab: Raja Parlindungan Pane (The 1st Times)
Ketua :AAGWA "Gungde" Ariwangsa SH (Suara Karya)
Wakil Ketua : Mardjan Zen (Pikiran Rakyat)
Sekretaris : Firmansyah Gindo (LPP RRI)
Anggota : Dede Isharudin (Bola)
: Tommy Yosrifal (ANTV)
: Dede Hermawan (Rakyat Merdeka)
Penanggung Jawab: Raja Parlindungan Pane (The 1st Times)
Ketua :AAGWA "Gungde" Ariwangsa SH (Suara Karya)
Wakil Ketua : Mardjan Zen (Pikiran Rakyat)
Sekretaris : Firmansyah Gindo (LPP RRI)
Anggota : Dede Isharudin (Bola)
: Tommy Yosrifal (ANTV)
: Dede Hermawan (Rakyat Merdeka)
(Tim EPI/KG/Rudy Novrianto)
>>>> Kunjungi Sumber Asli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar