Menu

Menu1

coiga

Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) adalah organisasi profesi wartawan olahraga di Indonesia. SIWO Pusat sebagai induk dari 33 Pengurus Cabang Siwo Provinsi memiliki hampir 3.000 anggota dari media cetak, televisi dan online yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Inilah modal kekuatan SIWO dalam melakukan tugas jurnalistik dan melaksanakan peran dalam pembinaan olahraga di tanah air.

Rabu, 29 Januari 2014

Pimpinan Olahraga Harus Tahan Kritik

SIWO PUSAT COM - TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana penyatuan kembali Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menjadi salah satu isu yang mengemuka menjelang dilangsungkannya 'Diskusi Olahraga Nasional' pada Kamis (30/1/2014) di Gedung Serba Guna, Senayan, Jakarta. Padahal, tema besar yang diusung dari diskusi yang digagas oleh Seksi Wartawan Olahraga (Siwo) Pusat ini adalah evaluasi dari kegagalan di SEA Games 2013, Myanmar.
Wacana penyatuan kembali KOI dan KONI, dan kegagalan di pentas pesta olahraga antar-negara Asia Tenggara di Myanmar itu, ketika kontingen Indonesia hanya menempati posisi keempat, terlempar dari kursi juara umum saat SEA Games 2011 di Jakarta dan Palembang- sebenarnya dua hal yang berbeda. Namun, mungkin atas dasar kepentingan yang lebih besar, perbedaan itu coba direkatkan. Walau semua sama-sama memahami bahwa hal itu bukannya tak mudah untuk diwujudkan, tetapi sekaligus hal itu juga bukannya mustahil tak bisa dilakukan. Sudah sama-sama pula dimaklumi jika KOI dan KONI ibarat dua sisi mata uang; kesamaan terletak pada keutamaan subtansi peranan mereka pada aspek pengembangan olahraga, kalaupun kemudian selalu muncul pertentangan pandangan hal itu lebih banyak disebabkan oleh persepsi atau penafsiran akan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) masing-masing. Pada intinya, ketika keduanya sama-sama merasa paling benar dan paling penting, maka mestinya yang lebih muncul kepermukaan adalah kepekaan atas sensitivitas tanggung-jawab dan jiwa besar dari pimpinan masing-masing institusi. Bukannnya saling menyalahkan, saling tuding, dan saling mencari dukungan. Dalam konteks inilah diskusi yang digelar oleh Siwo Pusat ini memiliki nilai strategis. Siwo sebagai himpunan dari media bagaimana pun bisa disikapi sebagai institusi pembelajaran, dan mengutip para pakar, sekaligus adalah wahana edukasi untuk pencerahan kepada masyarakat. Dari terminologi itu, Siwo atau media bukanlah pemadam kebakaran, akan tetapi menempatkan pemahaman dari persoalan pada tataran yang sebenarnya. Dari beberapa narasumber yang akan tampil pada diskusi Siwo Pusat yang diketuai oleh wartawan senior AA Gungde Ariwangsa dari harian 'Suara Karya' itu, bukan tak mungkin jika paparan mereka memang akan banyak bersinggungan dengan 'tupoksi' dari KOI dan KONI serta keterkaitannya dengan apa yang terjadi selama ini dan bagaimana hasilnya, termasuk sejatinya kegagalan di SEA Games Myanmar tersebut. Para pembicara, Edmound JT Simorangkir, Sandiago Uno, dan Hendardji, adalah representasi dari tiga cabang olahraga yang tampil di SEA Games Myanmar dengan hasil yang berbeda. Edmound Simorangkir dan Sandiago Uno mewakili cabang olahraga terukur, masing-masing balap sepeda dan renang, dengan pencapaian prestasi atletnya yang masih menggembirakan. Balap sepeda membawa pulang empat medali emas, dan bahkan menjadi 'juara umum' diantara kontingen balap sepeda negara lainnya. Renang memang belum kembali menemukan kejayaannya di Asia Tenggara, akan tetapi mereka juga kembali dengan perbaikan sejumlah rekor. Hendardji mewakili pimpinan cabang olahraga beladiri dengan pencapaian minim sebagian besar karatekanya. Beberapa cabang beladiri lainnya juga bisa dikatakan jeblok, termasuk taekwondo, tetapi dikedepankannya Hendardji sekaligus bisa menjadi representasi dari pimpinan organisasi olahraga beladiri yang masih 'utuh', tidak terpecah, sebagaimana taekwondo. Dalam kondisi terpecah itu, sangat mungkin jika Edmound JT Simorangkir akan 'berbagi pengalaman' seputar kegalauannya dalam memimpin organisasi balap sepeda tanah air sejak dua tahun terakhir dan bagaimana akhirnya ISSI seperti terpecah menjadi tiga, pasca keikutsertaan di SEA Games Myanmar. Sehubungan dengan 'perpecahan' di organisasi olahraga itu pula, permasalahan serupa terjadi di beberapa cabor, yakni tenis meja dan equestrian--salah satu disiplin dari berkuda disamping polo dan pacuan. Siapa yang harus bertanggung-jawab atas perpecahan, dualisme atau bahkan lebih dari itu seperti yang mengancam PB ISSI? KOI DAN KONI Terkait dengan wacana penyatuan kembali KOI dan KONI, sebenarnya sudah sejak dua tahun terakhir mengemuka, Dengan demikian, jika konsiderannya sekadar kegagalan di SEA Games Myanmar, bisa ditepis. Wacana penyatuan mutlak dilegalisasi atas dasar kepentingan yang jauh lebih besar. Sejak Musornaslub (Musyawarah Olahraga Nasional Luar Biasa) KONI di Bandung, Jabar, Februari 2013, usulan penyatuan KOI dan KONI dikumandangkan oleh mayoritas 'stakeholder' olahraga nasional. Rita Subowo selalu ketua KOI mengisyaratkan kesetujuannya, asalkan sesuai melalui prosedur dan mekanisme yang benar, yakni revisi atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005. UU No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) adalah produk yang dirumuskan selama belasan tahun oleh Kantor Pemuda dan Olahraga (Menpora). Pemberlakuan UU No 3 Tahun 2005, atau UU SKN, lantas diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2007 yang ditandatangani oleh Adhyaksa Dault, berkaitan dengan penjabaran atas keseluruhan ketentuan yang terkandung dalam UU SKN. Peraturan Menteri atau Permen dari Adhyaksa Dault itu pada galibnya adalah esensi dari 'tupoksi' dari masing-masing institusi yang bergerak di bidang olahraga, teristimewa KOI dan KONI. Sehubungan dengan adanya usulan untuk penarikan PP No 17 tahun 2007, Menpora Roy Suryo mengatakan bahwa tugas pemerintah adalah mempertahankan Undang Undang. Sebuah Undang Undang itu paling tidak harus dijalankan selama delapan hingga sepuluh tahun. Namun, bila Undang Undang tersebut sudah dianggap sudah tidak relevan, bisa saja Undang Undang tersebut direvisi atau dibuatkan Undang Undang baru. "Nah, yang berhak mengusulkan untuk merevisi Undang Undang tersebut bila ada dua aspirasi. Kalau tidak DPR, ya masyarakat. Dan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang SKN itu pun bukan kitab suci. Bisa direvisi sewaktu-waktu. UUD 45 saja bisa diamanedemen," kata Roy Suryo. Demikian juga dengan pandangan wartawan olahraga senior Mahfudin Nigara. "Di atas segalanya, hanya kitab suci masing-masing agama saja yang tidak bisa diamandemen," tegas Nigara, yang sudah 34 tahun berkecimpung 'menggeluti' keolahragaan Indonesia dari sisi jurnalistik. "Saya setuju jika UU SKN itu direvisi, dan tarik juga PP No 17 tahun 2007 itu," terangnya. UU No 3 Tahun 2005 tentang SKN dibuat untuk menciptakan payung hukum bagi dunia olahraga Indonesia. Tapi bahwa belakangan Undang Undang tersebut menimbulkan masalah dari pemisahan pemisahan Ketua KOI dan KONI, ini yang menjadi masalah. Prinsip 'menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah' sepertinya tidak sepenuhnya berhasil diimplementasikan dari keberadaan UU No 3 tahun 2005 tentang SKN tersebut. Apalagi, jika pimpinan dari KOI dan KONI sama-sama tak mau 'mengalah'. Lebih repot lagi jika salah satu pihak merasa diri yang paling benar, sehingga terkesan enggan menerima kesalahan atau bahkan tak sudi dikritik. "Menjadi pimpinan itu memang sulit, tetapi ya harus legowo dan selalu siap dikritik," kata Mahfudin Nigara.(tb) >>>> Kunjungi Sumber Asli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar